Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

linkie ♥

Featured Posts

Selasa, 29 November 2011

Sastra

PROPOSAL
NILAI MORAL DALAM CERITA RAKYAT ASAL-MUASAL TERJADINYA SUNGAI WALENNAE DI SOPPENG SULAWESI SELATAN


Oleh:
EKA MUSTIKA
A1D1 08 034

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011




BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang

    Bangsa Indonesia terkenal dengan budayanya yang beranekaragam. Hal ini terjadi karena bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, yang mendiami berbagai daerah diseluruh wilayah nusantara yang terbentang luas dari sabang sampai merauke.
    Keanekaragaman budaya itu meliputi, keanekaragaman bahasa, keanekaragaman adat istiadat, keanekaragaman kesenian, (termasuk seni sastra) yang dapat memberikan ciri khas bagi budaya daerah pemiliknya.
    Kebudayaan daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat penduduknya. Dengan demikian, kebudayaan daerah itu dapat mengungkapkan berbagai pengalaman hidup, sikap dan pandangan masyarakat sebagai manifestasi dari apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan oleh masyarakat.
    Usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional tidak lepas dari upaya penggalian kebudayaan daerah yang tersebar diseluruh tanah air termasuk sulawesi tenggara dan sulawesi selatan. Hal ini dimaksudkan kebudayaan daerah merupakan tulang punggung dan khasana pengungkap dan pelengkap kebudayaan nasional. Tumbuhnya kesusastraan Indonesia berawal dari bermulanya kesusastraan daerah. Sehingga antara sastra daerah dengan kesusastraan Indonesia tidak dapat dipisahkan. Tumbuhnya kesusastraan Indonesia berawal dari bermulanya kesusastraan daerah. Sehingga antara sastra daerah dengan kesusastraan indonesia tidak dapat dipisahkan.
    Dengan demikian, penggalian kebudayaan daerah sangat penting untuk dilakukan. Penggalian kebudayaan daerah tersebut harus melalui atau dapat memerlukan suatu data dan informasi yang lengkap. Salah satu sumber informasi kebudayaan yang penting adalah sastra daerah yang masih berbentuk lisan dan masih mengakar ditengah-tengah masyarakat. Sastra tersebut merupakan arsip kebudayaan yang menyimpan berbagai data dan informasi kebudayaan daerah. Karena di dalamnya terdapat berbagai gagasan, ilmu pengerahuan, ajaran-ajaran, adat-istiadat, dan yang mengandung nilai-nilai luhur. Dalam hal ini usaha pengkajian sastra daerah khususnya yang mencakup cerita rakyat akan terus diupayakan. Sastra daerah merupakan bagian kabudayaan Indonesia yang hidup dan mempunyai nilai-nilai positif yang patut dilestarikan dan dikembangkan dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.
    Hal ini dinilai penting, karena dewasa ini sastra derah terutama cerita rakyat seolah-olah telah terlupakan. Sadahal cerita rakyat masih banyak mengandung nilai-nilai yang sangat tinggi sarta mempunyai muatan isi yang perlu diwarisi oleh pemakainya. Selain itu, kebudayaan daerah yang khususnya mencakup cerita rakyat merupakan budaya leluhur dan wahana untuk berkomunikasi antara masyarakat lama dan masyarakat generasi sekarang.
    Seperti halnya daerah-daerah di Indonesia di kalangan masyarakat suku jugsa masih banyak ditemui jenis cerita rakyat yang tidak terhitung jumlahnya. Cerita rakyat atau sastra lisan ini biasa juga disebut atau lebih dikenal dengan istilah dengang atau cerita pelipur lara. Hal ini desebabkan oleh tujuan penciptaan cerita rakyat tersebut untuk menghibur hati yang sedih, menyenangkan hati dan menenangkan pikiran.
    Cerita rakyat merupakan warisan budaya nasional dan masih mempunyai nilai-nilai yang patut di kembangkan dan di manfaatkan untuk kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, antara lain dalam hubungannya dengan pembinaan apresiasi sastra. Cerita rakyat juga telah lama lahir sebagai wahana pemahaman dan gagasan serta pewarisan tata nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Bahkan cerita rakyat telah berabad-abad berperan sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan msyarakat, dalam arti ciptaan yang berdasarkan lisan dan lebih mudah diganti karena ada unsur yang dikenal masyarakat, (rusiana,1975:8).
    Kenyataan menunjukkan bahwa sastra daerah khususnya cerita rakyat yang merupakan salah satu bentuk kesusastraan lama yang mempunyai tatanan nilai dan isi yang bermanfaat sebagai pencerminan kehidupan masrakat pendukungnya, kini mulai bergeser oleh masuknya berbagai jenis budaya asing yang ada.
    Akibat dari pergeseran budaya yang juga diiringi oleh pesatnya arus ilmu pengetahuan dan teknologi mederen mengakibatkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya tergeser pula. Demikian halnya dengan sastra lisan yang berbentuk cerita rakyat seolah-olah terlupakan dan enggan untuk dikaji.
    Salah satu upaya yang dilakukan untuk pelestarian dan pengembangan cerita rakyat adalah melakukan penelitian dan pengkajian tentang “ nilai moral dalam  cerita rakyat bugis di Kabupaten Soppeng“ yang pada umumnya masih berupa cerita lisan, yang kepunahannya sewaktu-waktu akan terjadi. Berdasarkan uraiyan tersebut diatas, maka kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa, cerita rakyat yang terdapat dalam masyarakat bugis di Kabupaten Soppeng ini perlu diteliti guna memperoleh gambaran umum tentang nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat “Asal-Muasala Terjadinya Sungai Walennae” sebagai salah satu bentuk karya sastra lama dikalangan masyarakat bugis Kabupaten Soppeng yang perlu diperhatikan.
    Dengan cerita rakyat masyarakat tradisional, manusia dapat mengeksperisikan gejolak jiwa dan renungannya tentang kehidupan. Salah satu hubungan sastra dan kehidupan adalah sastra berperan sebagai perekat kehidupan yang merupakan distorsi dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu, cerita rakyat juga berfungsi untuk mengukuhkan hubungan solidaritas dan menyegarkan pikiran dan perasaan.
    Secara spesifik dikalangan masyarakat bugis, Kabupaten Soppeng, memiliki keanekaragaman sastra daerah yang kini hampir punah. Salah satu bentuk sastra daerah tersebut yang kini hampir punah adalah cerita rakyat yang berjudul “Asal-Muasal Terjadinya Sungai Walennae”. Untuk mengantisipasi kenyataan tersebut, maka penelitian tentang isi yang terkandung dalam cerita rakyat tersebut, perlu diteliti dan digunakan sebagai muatan lokal.
    Selain itu, peneliti mencermati gejala menurunnya minat masyarakat terutama generasi muda terhadap cerita rakyat yang kini semakin memprihatikan, yang berdampak terhadap kemungkinan lenyapnya karya sastra tersebut. Oleh sebab itu, penelitian terhadap cerita rakyat masyarakat bugis yang terdapat didaerah Soppeng patut untuk dilaksanakan, sebabisi cerita ini mengandung ajaran moral dan falsafah hidup masyarakat, yang perlu diwujudkan dalam bentuk tulisan agar maknanya dapat dipahami oleh masyarakat dewasa ini terutama generasi pelanjut.
    Peneliti berasumsi bahwa cerita rakyat tersebut memiliki banyak aspek  nilai budaya dan religi (kepercayaan), sehingga kekayaan rohaniah yang tersimpan didalam karya sastra berbahasa daerah tersebut, dapat terungkap melalui serangkaian penelitian. Peneliti merasa terpanggil selaku putri daerah Soppeng sebagai pemilik cerita ini untuk mengadakan penelitian terhadap “nilai moral dalam cerita rakyat bugis di Kabupaten Soppeng” karena selain cerita ini terancam akan punah, juga memiliki keunikan tersendiri yang tidak terdapat didaerah lainnya. Disamping itu, pendokumentasian cerita ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kebudayaan bangsa.

1.2     Masaalah
          Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, dapatlah dikemukakan masalah penelitian ini yaitu, bagaimanakah nilai moral dalam cerita rakyat bugis dikabupaten Soppeng ?.

1.3     Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1  Tujuan Penelitian
         Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai moral dalam cerita rakyat bugis dikabupaten Soppeng.

1.3.2    Manfaat Penelitian
        Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut
1.    Sebagai salah satu bahan masukan dalam upaya pengkajian cerita rakyat daerah.
2.    Sebagai bahan rujukan bagi peneliti atau penulis sastra daerah berikutnya dalam upaya pengembangan      kesusastraan daerah.
3.    Sebagai salah satu upaya dalam pelestarian bahasa dan sastra daerah di Indonesia.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1  Pengertian Sastra Lisan
    Sastra lisan adalah jenis atau kelas karya sastra tertentu yang di tuturkan dari mulut ke mulut, tersebar secara lisan, anonim, menggambarkan masa lampau Shiplei, (gafar,1990:13). Yang dimaksudkan dengan sastra lisan adalah yang penyebarannya secara lisan dan tidak dalam bentuk tokoh (arabi,1983:2). Pengertian yang sama juga dikemukakan oleh Atmazaki (1986:82) bahwa sastra lisan adalah sastra yang disampaikan secara lisan dari mulut seseorang pencerita atau penyair pada seorang atau sekelompok pendengar.
    Seiring dengan pendapat diatas juga, Aliana (1984:5)menjelaskan bahwa sastra lisan adalah sastra yang pengembangannya secara lisan. Sedangkan menurut Balawa (1991:23) mengemukakan bahwa sastra lisan merupakan salah satu jenis sastra yang lahir dan berkembang pada zaman klasik, dan diakui sebagai milik bersama ditengah-tengah masyarakat. Jenis sastra lisan yaitu dongeng,cerita rakyat, legenda, mite, sage, gurindam dan hikayat.
    Penyebaran dan pewarisan sastra lisan biasanya dilakukan melalui tutur kata atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat dan alat pembantu pengingat, oleh generasi yang satu kepada generasi selanjutnya. Sehingga dengan demikian sastra lisan dalam perkembangannya telah menjadi hasil kebudayaan yang bersifat tradisional.
    Secara garis besar, ekpresi sastra lisan terbagi menjadi dua bagian besar yaitu :
(a).  Sastra lisan murni yaitu sastra lisan yang benar-benar di tuturkan secara lisan yang          berbentuk prosa murni (dongeng dan cerita rakyat), ada juga yang berbentuk prosa lirik (yang penyampaiannya dinyanyikan atau dilagukan), sedangkan dalam bentuk puisi berwujud nyanyian rakyat (pantun, syair, tembang anak0anak, ungkapan-ungkapan tradisional, dan teka-teki drama).
(b).  Sastra lisan yang setengah lisan, yaitusastra lisan penuturnya dibantu oleh bentuk-bentuk seni yang lain misalnya :sastra ludruk, sastra ketoprak, sastra wayang dan lain-lain (hutomo, 1983:9-10).
    Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat kita pahami bahwa ciri-ciri sastra lisan adalah sebagai berikut :
1.    Anonim, yaitu karya-karya sastra lisan itu tidak diketahui oleh pengarangnya.
2.    Statis, yaitu baik isi maupun cerita sangat lambat perubahannya.
3.    Religius yaitu karya-karya itu berhubungan dengan agama dan kepercayaan yang dianut.
4.    Klise imajinatif, yaitu baik isi maupun bentuknya adalah meniru bentuk yang sudah ada sebelumnya.

2.2 Fungsi Sastra Lisan
    Karya sastra khususnya yang tergolong dalam sastra lisan mengandung peranan positif yang dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan bagi generasi muda.
    Fungsi sastra lisan perlu diketahui bahwa bagaimana makna yang tercantum dalam isi cerita itu dan di samping itu kita dapat mengetahui fungsi sastra lisan melalui resepsi idiom reaksi dan pendapat masyarakat (Apituley, 1991:12).
    Apituley berpendapat bahwa sastra lisan mempunyai empat fungsi sebagai berikut:
Pertama, fungsi mendidik. Aspek mendidik dalam sastra lisan antara lain:
1.    Membina tingkah laku yang baik, agar tercapai keserasian hidup bersama;
2.    Membina kemauan dan perasaan seperti kemauan keras, sabar dan tidak sombong;
3.    Mendidik moral yang tinggi, seperti jujur, belas kasih, dan suka menolong;
4.    Pengajaran, yang berupa hidup hemat dan sebagainya;
Kedua, fungsi menyimpan budaya. Dengan mendengar sastra lisan, generasi mudah dapat mengetahui bagaimana sikap hidup yang luhur dari nenek moyangnya, struktur kekeluargaan, cara bergaul, dan sistem pemerintahan dapat diketahui deangan menganalisis lebih dalam isi cerita secara signifikan, faktor-faktor sejarah juga dapat diketahui melalui sastra lisan.
Ketiga, fungsi motivasi. Tujuan orang tua menceritakan sastra kepada anaknya tidak lain agar anak-anak dapat mengambil manfaatnya dari cerita itu. Mereka juga diharapkan dapat mengikuti yang baik dan meninggalkan hal-hal yang buruk atau tidak baik, seperti meberi motivasi untuk rajin bekerja.
Keempat, fungsi rekreasi. Orang selalu merasa senang apabila mendengar cerita dan ini biasanya dilakukan jika orang telah selesai dengan segala pekerjaannya, lalu seseorang mulai bercerita, baik yang lucu maupun yang mengharukan. Dengan mendengar cerita, orang akan lupa waktu sehingga keinginan untuk berhenti beberapa saat atau mengantuk dapat dihilangkan (Apitulei, 1991:12-13). 

2.3  Pengertian Cerita Rakyat
    Didalam kesusastraan Indonesia dikenal adanya cerita rakyat. Cerita rakyat di bangun dan dikembangkan melalui bahasa lisan sebagai sarana pengungkapnya.
    Cerita rakyat adalah cerita yang berkembang pada masyarakat tertentu yang perkembangannya bersifat lisan dari mulut kemulut dan dianggap sebagai milik bersama. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Djamaris (1993:15), bahwa cerita rakyat adalah suatu golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun temurun dari suatu generasikegenari berikutnya.
    Dalam pengertian lain cerita rakyat adalah kisahan atau anonym yang tidak terikat oleh pada ruang dan waktu yang beredar secara lisan di tengah masyarakat (sudjiman, 1989:16). Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1990:165) dijelaskan, bahwa cerita rakyat adalah cerita dari zaman dahulu yang hidup dikalangan rakyat dan diwariskan secara lisan. Cerita rakyat dengan demikian bias dipandang sebagai salah satu bentuk tradisi lisan yang memakai media bahasa.
    Suatu cerita rakyat atau biasanya dikenal sebagai prosa rakyat, prosa rakyat atau karangan bebas dianggap benar-benar terjadi, dan bukan sekedar cerita fiktif belaka, yang berkembang pada zaman tertentu kendati pun pengarangnya tidak diketahui. Namun demikian, keberadaan prosa rakyat suatu masyarakat berpengaruh terhadap fungsi dan nilai social yang ada pada masyarakat tertentu. Salah satu fungsi prosa rakyat adalah sebagai pembawa nilai dan amanat yang filosofis, juga sebagai pelipur lara (djamaris, 1993:40).
    Dengan demikian berdasarkan hal diatas, tampak jelaslah bahwa cerita rakyat banyak mengandung muatan nilai-nilai luhur yang berharga dalam momentum kehidupan.

2.4  Fungsi Cerita Rakyat
Secara ekplisif cerita rakyat merupakan suatu gender sastra Indonesia sebagai jenis sastra, maka dengan sendirinya cerita rakyat mempunyai fungsi social yang begitu tinggi dan berharga didalam masyarakat. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Balawa (1991:11) yang mengatakan bahwa fungsi social sebuah cerita rakyat adalah untuk memberikan kesenangan akibat terjadinya ketegangan. Kesenangan yang berupa kenikmatan estetis dan kesenangan akibat terjadinya identifikasi diri.
    Bagi peminat sastra, pembacaan suatu cerita rakyat dapat berfungsi sebagai hiburan, didaktif (pengajaran) untuk mengapdikan segala kejadian yang dialami oleh tokoh cerita (zulfahnur, 1996:60). Biasanya dalam suatu karya sastra, mengandung esensi moral dan moral tersebut mencerminkan pandangan hidup pengarang tentang nilai-nilai kebenaran.
    Cerita rakyat tidak hanya bermanfaat sebagai bahan untuk memahami keadaan masyarakat masa lampau dan semata-mata alat hiburan, tetapi juga fungsi cerita rakyat menurut Bascom (sikki, 1986:13-14) adalah sebagai berikut :
1.    Cerita rakyat sebagai alat angan-angan kelompok, peristiwa yang diungapkan sukar terjadi dalam kenyataan hidup. Cerita ini hanya merupakan proyeksi, angan-angan atau impian masyarakat jelata.
2.    Cerita rakyat digunakan sebagai alat pengetahuan dan pengikat adat kebiasaan kelompok, pranta yang merupakan lembaga kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
3.    Cerita rakyat berfungsi sebagai pendidik budi pekerti kepada anak-anak atau tuntutan hidup.
4.    Cerita rakyat berfungsi sebagai alat pengendali social (social control) atau alat pengawasa agar norma-norma masyarakat dapat dipatuhi.

2.5 Unsur-Unsur Pembentuk Cerita Rakyat
    Pada prinsipnya ada dua unsure penting pembentuk prosa rakyat lisan, yaitu unsure intrinsic dan unsur ekstrinsik. Unsure intrinsic adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsure inilah yang menyebabkan sebuah karya sastra hadir sebagai karya yang dilihat dan secara fakta akan dijumpai apabila orang sedang membaca karya sastra. Unsure ektrinsik adalah unsure yang berada diluar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau organisasi karya sastra (nurgiantoro, 1995:23).
    Selanjutnya unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut dapat dijelaskan dibawah ini.
2.5.1  Alur atau Plot
    Menurut Maribin (1983:61) mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang tersusun secara logis. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sumrdjo (1986) bahwa alur atau plot adalah sambung menyambungnya peristiwa bedasarkan hokum sebab akibat yang terdapat dalan cerita. Dalam suatu cerita rakyat alur atau plot merupakan jalur tempat lewatnya peristiwa yang disajikan pengarang.
2.5.2  Karakter (perwatakan) Tokoh
    Pengertian karakteradalah sifat dan cirri khas yang dimiliki oleh tokoh, kualitas nalar dan jiwanya, yang membedakan dari tokoh yang lain. Karakter tokoh cerita menurut pandangan Sumardjo (1986:64) mengatakan bahwa sebuah cerita  ( cerita rakyat ) banyak ditentukan oleh kepandaian penulis menghidupkan watak tokoh-tokohnya.
    Dalam cerita rakyat, perwatakan atau penokohan adalah pelukisan tokoh atau pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap dan tingkah lakunya dalam cerita, termasuk perasaan, cara berpikir dan cara bertindak.
2.5.3  Tema Cerita
    Tema cerita adalah merupakan ide dan gagasan sentral dari pengarang. Dalam suatu karya sastra (cerita rakyat) tema menyangkut pokok persoalan yang akan ditampilkan oleh pengarang.
2.5.4  Suasana Cerita
    Setiap cerita di tulis dengan maksud tertentu. Suasana dalam cerita (cerita rakyat) membantu menegaskan maksud pengarang.
    Keadaan disekitar kita atau perasaan yang ada dalam suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh latar yang akan kita baca adalah kejadian atau hanya pembicaraan tokohnya, tetapi selama kita mengikuti ceritanya terasa ada suasana tertentu yang menggeluti hati kita. Tentu saja suasana cerita baru terbina jika unsure yang lain berjalan dengan baik.
2.5.5  Latar Cerita (setting)
    Latar atau setting merupakan landas tumpu dan lingkungan temapat peristiwa terjadi. Dalam pembagian latar, terbagi atas latar yang berhubungan dengan alam, yang didalamnya melukiskan perihal tempat atau lokasi peristiwa itu terjadi dalam ruang ala mini. Latar yang berhubungan dengan waktu yaitu latar yang melukiskan kapan peristiwa itu terjadi. Latar yang berhubungan dengan social yang melukiskan lingkungan social dimana peristiwa itu terjadi.
2.5.6  Sudut Pandang Pengarang
    Sudut pandang pengarang (pusat pengisahan) adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam sebuah cerita. Sudut pandang menyoroti siapa yang bercerita dan bagaimana visi pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita.
2.5.7  Gaya Bahasa Pengarang
    Gaya adalah ciri khas pengungkapan seseorang. Dengan kata lain, gaya adalah pribadi pengarang tiu sendiri. Hal initercermin dalam cara pengarang menyusun dan memilih kata-kata, dalam memilih tema atau meninjau persoalan, singkatnya gaya mencerminkan pribadi pengarangnya (sumardjo, 1986:92).
2.5.8  Amanat Cerita
    Didalam amanat terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Amanat dapat diungkapakan secara ekpilisit (terang-terangan) dan dapat pula secara implicit (tersirat). Bahkan ada amanat yang tidak Nampak sama sekali umumnya cipta sastra modern memiliki amanat secara implicit (esten, 1987:23).

2.6 Penggolongan Cerita Rakyat
    Menurt William R. Bascom (dalam Danandjaja, 1984:50) cerita rakyat dapat diabagi menjadi tiga golongan besar yaitu; mite, legenda, dan dongeng. Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang mempunyai cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Sedangkan legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai cirri-ciri dengan mite, yaitu dianggap pernah terjadi tetapi tidak anggap suci. Legenda ini ditokohi oleh manusia, walaupun adakalanya mempunyai sifat-sifat luarbiasa dan dan seringkali juga dibantu makhluk-makhluk gaib.sebaliknya dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat.

2.7 Pengertian Nilai
    Nilai adalah suatu hal yang menyebabkan hal tersebut pantas oleh manusia Ari Jarkosa (dalam Suwondo, 1994:3). Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa nilai itu sendiri sesungguhnya berkaitan erat dengan kebaikan, yang membedakannya adalah kebaikan lebih melekat pada kelakuannya. Sedangkan nilai lebih merujuk pada sikap orang terhadap sesuatu hal yang baik.

2.8 Nilai Dalam Sastra
    Tarigan (1984:144:145) menjelaskan bahwa dalam karya sastra terhadap barbagai macam nilai. Nilai-nilai itu adalah: (1) nilai artistik, yaitu jika karya sastra dapat dilakukan/dimanifestasikan suatu seni/pelajaran dalam keterampilan itu; (2) nilai kedonik, yaitu nilai yang memberikan sesuatu hiburan (kesenangan) langsung kepada kita, (3) nilai etis/moral, religius, yaitu jika sesuatu karya sastra memancarkan ajaran-ajaran yang ada sangkut aputnya dengan etika, moral, dan agama; (4) nilai praktis, yaitu jika karya sastra mengandung hal-hal praktis yang dapat dilakukan dalam kehidupan selama-lamanya.

BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

3.1    Metode dan Jenis Penelitian
3.1.1    Metode Penelitian
   Merujuk pada tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.
Metode deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini terutama yang berhubungan langsung dengan penyajian data yang diperoleh dari sumber data yang objketif sejalan dengan sasaran penelitian yang akan mengkaji isi cerita rakyat.
Penggunaan metode deskriptif kualitatif dalam penelitian ini bertujuan untuk digambarkan dan dijelaskan kensep-konsep yang berkaitan antara satu dengan yang lainnya denagan menggunakan kata-kata atau kalimat, bukan angka-angka statistik, dengan mengacu pada struktur yang benar serta mempergunakan pemahaman yang mendalam.
3.1.2     Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian lapangan. Semua data yang diperlukan oleh peneliti diperoleh langsung di lapangan mengenai cerita rakyat Bugis kabupaten Soppeng (cerita Asal-muasal terjadinya sungai walennae).

3.2    Data dan Sumber Data
3.2.1    Data penelitian
        Data dalam penelitian ini adalah datalisan, yakni menyangkut cerita rakyat Bugis berjudul “Asal-muasal terjadinya sungai walennae” yang terdapat di kabupaten Soppeng.

3.2.2. Sumber Data Penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian, maka peneliti melibatkan diri secara langsung dengan terjun ke lokasi penelitian sesuai dengan sifat penelitian ini. Adapun lokasi penelitian ini terletak di Kabupaten Soppeng.  
Sehubungan dengan data penelitian ini yang sifatnya lisan maka untuk memperoleh data tersebut peneliti menetukan informan sebagai sumber data. Informan yang ditetapkan dan dipilih oleh peneliti sebanyak satu orang dan harus memenuhi syarat sebagai informan yang baik.
3.3.3  Metode dan Teknik Pengumpulan Data
    Karena penelitian ini tergolong penelitian lapangan, maka dalam pengumpulan data, peneliti terjun langsung kelokasi penelitian.
3.3.4  Teknik Analisis Data
    Setelah data terkumpul, selanjutnya data dianalisis. Dalam menganalisis data, penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan pendekatan simiotik. Pendekatan ini sesuai dengan objek penelitian yakni cerita rakyat yang dikaji berdasarkan isi cerita. Pendekatan sosiologi sastra adalah suatu pendekatan yang memahami latar belakang kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun zamannya pada saat cipta sastra itu di wujudkan. Pendekatan simiotik digunakan sejalan dengan pandangan Pierce yang mengatakan bahwa bangsa merupakan suatu tanda atau lambang-lambang bahasa itu berupa kata, kalimat, dan teks (Zulfahnur, 1996:152). Pendekatan simiotik adalah merupakan suatu pendekatan yang memberikan penekanan pada sistem tanda. Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem tanda. Dalam mengkaji dan memahami karya sastra tidak lepas dari analisis semiotik. Karya sastra secara semiotik merupakan struktur tanda-tanda yang bersistem dan bermakna. Selanjutnya, (Pradopo, 1994:123) mengemukakan bahwa studi sastra bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra.
    Berdasarkan data yang diperoleh dari sumber data, maka peneliti akan menganalisis data tersebut (teks cerita rakyat lisan), pertama-tama menerjemahkan data cerita lisan (bahasa daerah) kedalam teks tertulis dalam bentuk bahasa menyeluruh. Setelah data diinterpretasikan, selanjutnya peneliti akan mengkaji dan mendeskripsikan isi cerita rakyat dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan pendekatan semiotik.


BAB 1V
PEMBAHASAN

4.1    Peranan Cerita Rakyat Dalam Masyarakat

         Cerita rakyat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan budaya suatu daerah. Hampir dapat dipastikan bahwa tak ada satu pun daerah yang tidak memiliki cerita rakyat, baik yang berupa legenda, mitos, ataupun sekedar dongeng belaka. Bila digali secara mendalam, cerita rakyat akan semakin memperkaya khasanah budaya dan sejarah peradaban suatu bangsa. Pada umumnya cerita rakyat menceritakan asal-usul suatu masyarakat beserta nilai-nilai budaya yang mereka anut. Cerita rakyat masih sering dinikmati oleh warga masyarakat karena dapat dijadikan sebagai contoh dan pelipur lara, serta bersifat jenaka. Oleh karena itu, cerita rakyat biasanya mengandung ajaran budi pekerti atau pendidikan moral dan hiburan bagi masyarakat. Bila kita mempelajari dengan seksama, ternyata cerita rakyat yang hidup di kalangan masyarakat itu memiliki fungsi bermacam-macam. Setidaknya cerita rakyat memiliki tiga fungsi, yaitu 1) fungsi hiburan, 2) fungsi pendidikan, dan 3) fungsi penggalang kesetiakawanan sosial. Cerita rakyat jelas merupakan suatu bentuk hiburan. Dengan mendengarkan cerita rakyat sepeti dongeng, mite atau legenda, kita sekan-akan diajak berkelana ke alam lain yang tidak kita jumpai dalam pengalaman hidup sehari-hari. Para penuturnya pun sering mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan cerita yang pernah didengarnya dengan jalan menuturkan fantasinya sendiri. Dengan demikian cerita itu pada satu pihak menyebar secara luas di kalangan masyarakat dalam bentuk dan isi yang relatif tetap karena kuatnya si penutur pada tradisi, tetapi pada lain pihak juga banyak mengalami perubahan, karena hasratnya untuk menyalurkan angan-angannya serta citarasanya sendiri. Dengan gaya penuturan sendiri pula. Hal yang terakhir inilah yang menjadi salah satu sebab lahirnya versi-versi baru dari cerita rakyat. Dan justru perubahan dari para penutur yang kemudian itulah cerita rakyat dapat mempertahankan kelestarian hidupnya.
       Perubahan versi sering pula terjadi bila cerita rakyat itu menyebar ke daerah lain yang masyarakatnya memiliki lingkungan budaya yang berbeda. Dengan perubahan versi itu, cerita rakyat yang menyebar tadi seolah-olah mengalami revisi. Unsur-unsur yang tidak sesuai dengan pola kebudayaan dari masyarakat yang menerima cerita rakyat itu ditanggalkan, sedangkan unsur-unsur yang bersesuaian pola kebudayaan diserap dan dipadukan, sehingga pada akhirnya cerita rakyat tersebut tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang datang dari luar, melainkan telah dirasakan sebagai miliknya sendiri. Dalam hal ini unsur hiburan yang terkandung dalam cerita rakyat versi baru tersebut makin dapat dirasakan secara akrab.
           Fungsi Cerita rakyat selain sebagai hiburan juga berfungsi sebagai sarana pendidikan. Sesungguhnya orang yang bercerita pada dasaranya ingin menyampaikan pesan atau amanat yang dapat bermanfaat bagi watak dan kepribadian para pendengarnya. Tetapi jika pesan itu disampaikan secara langsung kepada orang yang hendak dituju sebagai nasehat, maka daya pukau dari apa yang disampaikan itu menjadi hilang. Jadi pesan atau nasehat itu akan lebih mudah diterima jika dijalin dalam cerita yang mengasyikkan, sehingga tanpa terasa para pendengarnya dapat menyerap ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita itu sesuai dengan taraf dan tingkat kedewasaan jiwanya masing-masing. Cerita rakyat juga memiliki fungsi sebagai penggalang rasa kesetiakawanan diantara warga masyarakat yang menjadi pemilik cerita rakyat tersebut. Di atas telah dijelaskan bahwa cerita rakyat itu lahir ditengah masyarakat tanpa diketahui lagi siapa yang menciptakan pertamakali. Fungsi lain lagi dari cerita rakyat adalah sebagai pengokoh nilai-nilai sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat. Dalam cerita rakyat terkadang ajaran-ajaran etika dan moral bisa dipakai sebagai pedoman bagi masyarakat. Di samping itu di dalamnya juga terdapat larangan dan pantangan yang perlu dihindari. Cerita rakyat bagi warga masyarakat pendukungnya bisa menjadi tuntunan tingkah laku dalam pergaulan sosial.
        Fungsi adalah suatu kegunaan atau faal yang dapat diambil dalam melakukan sesuatu. Demikian juga dengan karya sastra, memiliki fungsi dalam masyarakat, apakah itu fungsi langsung atau tidak langsung. Bila dilihat secara langsung, fungsi karya sastra itu pada dasarnya adalah media penyampaian isi hati pengarang atas apa yang dirasakan atau yang dialami oleh pengarang itu sendiri atas apa yang terjadi pada masyarakat. Karya sastra dapat dikatakan merupakan gambaran tentang apa yang terjadi dalam masyarakat dengankata lain hal yang disampaikan dalam karya sastra adalah cerminan masyarakat.
4.2 Sinopsis Cerita “Asal-Muasal Terjadinya Sungai Walennae”
    Cerita Asal-Muasal Terjadinya Sungai Walennae ini adalah berawal dari sebuah keluarga kecil yang mempunyai satu orang anak perempuan. Keluarga ini tinggal di suatu gunung, perjalanan hidup keluarga ini awalnya sederhana saja namun seiring berjalannya waktu keluarga ini semakin hari semakin miskin. kehidupan mereka hanyalah bergantung pada sang Ayah yang bekerja mencari kayu bakar di hutan kemudian dijual di kota. Anak perempuan mereka bernama Walennae. Walennae merupakan putri tunggal mereka yang sangat serakah dan labak, ia tidak pernah bersyukur dengan apa yang ia miliki bahkan tidak mau menerima keadaan hidup yang sebenarnya dihadapkan kepadanya.
    Suatu hari ketika keadaan keluarga ini semakin miskin, sang Ayah memutuskan untuk pergi merantau dengan tujuan kelak ia kembali bisa membawa rezki yang lebih dan berharap bisa mengubah keadaan keluarga mereka yang miskin menjadi lebih baik. Ketika sang Ayah telah diperantauan maka pekerjaan yang biasa dilakukan sang ayah dikerjakan oleh si Ibu seorang diri dengan harapan ia dapat dibantu oleh putrinya “walennae” namun tidak seperti itu, justru setelah kepergian sang ayah tingkah walennae semakin menjadi-jadi, ia semakin serakah dan labak bahkan ia juga semakin malas.
    Setahun kepergian sang Ayah datanglah kabar bahwa ia telah meninggal dunia ditempat perantauan. Si Ibu pun semakin sedih karena ditinggal suami tercintanya sedangkan anaknya semakin menjadi-jadi. Melihat tingkah sang anak yang semakin menjadi-jadi si Ibu tidak tahan lagi hingga ia memutuskan untuk meninggalkan walennae sendrian ditengah malam. Tibalah malam yang dinati-nati, si Ibu dengan diam-diam pergi meninggalkan anaknya hingga ia tiba ditepi sungai dan terjatuh. Keesokan harinya ketika walennae terbangun ia tidak melihat ibunya dan mulai mencarinya disetiap sudut rumah. Namun, tak juga ia temukan, menangislah ia sejadi-jadinya dan berlari menuju hutan dengan penuh perasaan menyesal, hingga jalur yang ia lalui saat mencari ibunya menjadi sebuah sungai yang sampai sekarang dikenal dengan nama sungai walennae.
4.2    Identifikasi Nilai Moral Dalam Cerita “Asala-Muasal Terjadinya Sungai Walennae”.
Nilai moral yang dibahas dalam cerita “Asal-Muasal Terjadinya Sungai Walennae” ini adalah dalam hubungannya dengan sikap dan tingakah laku tokoh dalam cerita ini. Tokoh utama dalam cerita ini adalah Walennae yaitu sosok anak yang sangat pemalas, serakah, dan tamak.
1.     Kerja Keras
Setiap kepala keluarga memiliki harapan untuk selalu membahagiakan keluarganya dengan cara menafkahinya. Apapun akan dilakukan demi kecintaannya terhadap keluarganya, ia rela membanting tulang bahkan hingga tetes keringat terakhirnya, itulah seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Nilai kerja keras yang terdapat dalam cerita ini digambarkan dari tokoh Ayah yaitu ketika harus mencari kayu bakar di hutan demi keluarganya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
“setiap harinya sang ayah bekerja mencari kayu bakar di hutan yang kemudian dibawa ke kota untuk dijual demi menghidupi keluarga kecilnya itu”.

    Atas kerja keras sang Ayah, keluarga kecil itu dapat hidup secara sederhana. Namun, semakin hari anak mereka semakin serakah dan tamak. keluarga itu pun semakin miskin, hingga sang Ayah memutuskan untuk pergi merantau dengan harapan kelak jika kembali ia bisa membawa rezeki yang lebih dan menjadikan keluarga mereka menjadi lebih baik lagi. Tetapi takdir berkata lain, ditempat perantauan sang Ayah meninggal dunia. Hal ini, menggambarkan bahwa sang Ayah rela melakukan apapun demi keluarganya yang dicintai, bahkan hingga mengorbankan nyawanya. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Lama kelamaan keluarga ini menjadi keluarga yang sangat miskin. Ketika leluarga itu menjadi amat miskin, maka sang ayah memutuskan untuk merantau dengan tujuan kelak ia kembali nanti bisa membawa rezki yang lebih dan keadaan ekonomi keluarganya bisa menjadi lebih baik”.

“Setahun sudah kepergian sang ayah, tanpa pernah ada kabar sedikitpun. Suatu ketika maka datanglah kabar bahwa sang ayah telah meninggal dunia di tempat perantauan”.

Dalam hubungannya dengan sikap moral, yang ditunjukkan oleh sikap sang Ayah di atas bila dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, bahwa setiap kepala kelurga memang selalu mencintai keluarganya, meski dalam keadaan seperti apapun itu. Dan sebagai seorang anak hendaknya, juga selalu bersyukur dan menghargai kerja keras Ayah kita.
2.    Serakah dan Labak
Perjalanan hidup tidak selamanya lancar dan mulus seperti apa yang kita inginkan, namun terkadang juga ada batu kerikil yang mengganjalnya. Dan kehidupan itu, tidak selamanya seseorang berada diatas dan tidak selamanya juga berada di bawah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kehidupan itu bagaikan roda berputar. Dalam keadaan seperti apapun itu, kita seharusnya menerima dan mensykuri apa yang Tuhan berika kepada kita. Hadirnya nilai serakah dan labak ini di perlihatkan oleh sikap Walennae. Oleh karena itu, Kita tidak boleh memiliki sifat serakah dan labak. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Dan anak perempuannya “walennae”  sangatlah malas dan memiliki sifat yang amat serakah dan labak”.

“Dengan keadaan mereka yang semakin miskin itu, si ibu berharap agar anaknya walennae akan berubah dan membantunya mencari kayu bakar untuk menambah penghasilan mereka, tapi justru sebaliknya, anaknya itu malah bertambah serakah dan tamak, ia pun semakin malas, dan tak satu pun pekerjaan yang ingin ia kerjakan”.

Kutipan di atas memperlihatkan betapa serakah dan labaknya Walennae, bahkan tidak hanya itu, ia pun juga merupakan anak yang malas.


BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan dan Saran   
5.1.1 kesimpulan
    Cerita rakyat Bugis (Asal-Muasal Terjadinya Sungai Walennae) merupakan jenis cerita dari sekian banyak cerita rakyat di daerah Sulawasi Selatan umumnya dan cerita prosa rakyat masyarakat Bugis daerah Soppeng. Cerita ini masih tetap hidup dalam masyarakat untuk berbagai keperluan, terutama mereka yang berlatar belakang bahsa dan budaya mereka. Jenis cerita ini merupakan warisan leluhur yang disampaikan secara lisan dan turun temurundari satu generasi kegenerasi selanjutnya.
    Cerita rakyat “Asal-Muasal Terjadinya Sungai Walennae” merupakan suatau kekayaan sastra daerah sekaligus mengandung ajaran moral. Oleh karena itu, jenis ini perlu dicegah kepunahannya, baik melalui penginvestasian maupun melalui penelitian yang lebih mendalam dan menyeluruh.
    Cerita rakyat “Asal-Muasal Terjadinya Sungai Walennae” dalam kedudukannya sebagai sastra daerah mengandung nilai-nilai yang belum diketahui masyarakat. Salah satu tujuannya adalah agar nilai-nilai ini menjadi penepis bagi masyarakat untuk tidak terbawa arus kepada nilai-nilai budaya dari luar. Nilai-nilai moral tersebut adalah:
1.    Kerja keras;
2.    Serakah dan labak.
5.1.2 Saran
    Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengajukan beberapa saran:
1.    Cerita rakyat “Asal-Muasal Terjadinya Sungai Walennae” perlu mendapatkan perhatian dalam upaya meningkatkan apresiasi sastra.
2.    Karya sastra daerah Bugis hendaknya diperhatikan secara intensif karena dalam karya sastra itu penuh dengan muatan nilai yang sangat berguna bagi kehidupan.
3.    Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam mengenai nilai moral dalam karya satra khususnya sastra lama, hendaknya penelitian lanjutan sangat diperlukan. 
  


DAFTAR PUSTAKA

Ambo Once, .Fahruddin. 1981. Sastra Lisan Bugis. Jakarta: angkasa Raya.
Araby, Ahmad, dkk. 1983. Sastra Lisan. Jakarta: Depdikbut.
Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hutomo, Suripan Sadi. 1983. Panduan Penelitian Sastra Lisan/Daerah. Jakarta: pusat pembinaan dan     pengembangan bahasa.
Sumardjo, Jakob. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.
Zulfahnur, et, al. 1996/1997. Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud.


Lampiran 1
DAFTAR NAMA INFORMAN
Nama                        : Sitti Salmiah
Umur                        : 42 Tahun
Agama                      : Islam
Jenis kelamin             : Perempuan
Pekerjaan                 :Wira Swasta
Alamat                      :Desa Asingi Kec. Tinanggea Kab. Konawe Selatan
Hari/Tanggal pengambilan data  : Senin, 30 Mei 2011


Lampiran 2
   (LEGENDA DARI TANAH SOPPENG, SULAWESI SELATAN)
 Cerita dalam bahasa Bugis
Assalenna Salo’ Walennae
    Riolo, riseddi bulu engka seddi makkalabiningeng tuo, yaro atuo-tuongenna madece-decemua. iyarosipangngulungenge engka ambo’na, indo’na, na engkato ana’ makkundrainna seddi, asenna walennae. Esso-essona ye lapong ambo massappa aju tunung ri ale’e nappa natiwi ri kotae nabalui. Yaro indo’na jama-jaman ess-essona mannasumi. Na ye lapong ana’ iwalennae rippe ja’sipa’na na maella-kella toppa. De’namitta ye sipangngulungenge mancajini tau peddi aregga wadding dipau atuo-tuongenna pede maperrini kasi. Wettunna kasi pede’ maperri atuo-tuongenna, ye lapong ambo laoni massompe rikamponna taue, bara’ koengkani matu lisu engkamu dalle napoleang na mancaji madeceng-decengmu atuo-tuongenna matu, de’na namapeddi banssana makkukue. Siponganna lapong ambo lao somppe, lapong indo’na kasi sambei massappa aju tunung rialee. Sipongnna kasi atuo-tuonganna pede mapeddini, ye lapong indo’ mattajeni bara’ ana’na walennae pede madeceng-decengni bara’ lo’ni dua-duangngi indo’na massappa aju tunung, ne’ banna pede’ mancaji maella-kellai na pede’ makuttu to, de’na gaga jama-jamang lo’ najama.
***
    Sitaunni laona lapong ambo, deppa na enggka karebanna. Engkana siddi wettu na engka kareba pole romai kede ye lapong ambo mateni riassomperenna ri kamponna taue. Nangkalinganna kareba majae, ye lapong indo pede messibabuani pa de’ni gaga lakkainna kasi. Yaro pede massi babuana pa an’na I walennae pede de’naelo riappoang. Engkana seddi wettu, ye lapong indo mappikkirini lo’i Ssalai ana makkundrainna calalena ko’matindro ni ritangngabennie.
    Engkani wettu nateje-tajengge, laoniro kasi’ lapong indo de’nappau-pau riana’na nasalai bolae. Jokkaniro nalettu riwirinna tebbingge na me’ddui karodo na matei. Riele’e moto’ni ro ana’na, laoni rikamara’na indo’na naitani ranjanna indo’na na degagatau-tau naita. Iyatoro walennae nasappai indo’na, na de’naruntui. Nasappatoni aga ce’dde bolae ne’ de’ to naruntui. Kuniro nappammula terri nasaba de’na naitai indo’na, nasese’toni alena nasaba talliwa-liwani ri indo’na. kuniro nalari tongeng lettu ri ale’e na ta’terri-terri tongeng ne’ deto naruntui indo’na. lettu makku’kue yaro laleng nalaloie mancaji salo’ni, iyanaro salo’e makku’kue ritella “salo’ walennae”.

 CERITA DALAM BAHASA INDONESIA
Asal-Muasal Terjadinya Sungai Walennae
    Dahulu kala, di suatu gunung hiduplah sebuah keluarga yang sederhana. Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak perempuannya yang bernama walennae. setiap harinya sang ayah bekerja mencari kayu bakar di hutan yang kemudian dibawa ke kota untuk dijual demi menghidupi keluarga kecilnya itu. Sedangkan si ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga. Dan anak perempuannya walennae  sangatlah malas dan memiliki sifat yang amat serakah dan labak. Lama kelamaan keluarga ini menjadi keluarga yang sangat miskin. Ketika leluarga itu menjadi amat miskin, maka sang ayah memutuskan untuk merantau dengan tujuan kelak ia kembali nanti bisa membawa rezki yang lebih dan keadaan ekonomi keluarganya bisa menjadi lebih baik. Selama sang ayah pergi, maka si ibulah yang menggantikan pekerjaan ayah untuk mencari kayu bakar. Dengan keadaan mereka yang semakin miskin itu, si ibu berharap agar anaknya walennae akan berubah dan membantunya mencari kayu bakar untuk menambah penghasilan mereka, tapi justru sebaliknya, anaknya itu malah bertambah serakah dan tamak, ia pun semakin malas, dan tak satu pun pekerjaan yang ingin ia kerjakan.
***
    Setahun sudah kepergian sang ayah, tanpa pernah ada kabar sedikitpun. Suatu ketika maka datanglah kabar bahwa sang ayah telah meninggal dunia di tempat perantauan. Saat mendengar kabar buruk itu, si ibu menjadi sangat sedih karena suaminya kini telah tiada, dan yang paling membuat ia menjadi sangat sedih alagi yakni kelakuan walennae yang semakin menjadi-jadi. Hingga di suatu hari saat tengah malam tiba, berfikirlah si ibu untuk meninggalkan anak perempuannya itu seorang diri saat sedang tidur lelap.
    Tibalah malam yang dinantikannya, maka dengan diam-diam pergilah si ibu dari rumah dengan tanpa arah dan tujuan. Ia terus berjalan hingga tiba di tepi jurang dan terjatuh di sana. Di pagi harinya katika anaknya terbangun, ia menghampiri kamar sang ibu dan di dapatinya tempat tidur ibunya yang telah kosong. Ketika itu, walennae pun mencari ibunya di setiap sudut rumah, namun ia tidak menemukannya, hingga di halaman pun ia tidak menemukan sosok sang ibu yang selama ini setia mengasihinya yang sekaligus berperan sebagai ibu dan ayah dalam hidupnya. Maka mulailah anak perempuan itu menangisi kepergian ibunya dan menyesali perbuatannya selama ini. Ia pun memutuskan untuk mencari ibunya dengan penuh perasaan menyesal. Akhirnya ia berlari hingga sampai di hutan sambil menangis sejadi-jadinya, namun ia tetap tidak menemukan ibunya dimana pun ia pergi. Hingga jalur yang ia lalui saat mencari ibunya menjadi sebuah sungai yang sampai sekarang ini dikenal dengan nama sungai walennae.
»»  READMORE...

Blogger templates